Brendan Rodgers menjadi sosok krusial di balik
kebangkitan Liverpool musim ini. Dan Mahendra Satya, dalam kolomnya kali
ini, menuliskan bagaimana sang manajer bisa membuatnya kembali
bermimpi...
Milan dan Allegri
Sebutlah Massimiliano Allegri gagal total menangani tim Serie A AC Milan musim ini sehingga ia harus menanggung resiko dari keterpurukan dan dipaksa lengser dari kepelatihan. Tapi fakta bahwa ia mengantarkan klub tersebut menjadi jawara di kasta tertinggi Italia pada musim pertamanya tak bisa dipungkiri.
Klub dengan sejarah besar di negeri pizza itu membuat perjudian besar dengan menunjuk Allegri yang sebelumnya baru setahun dibilang sukses mengantarkan Cagliari menjadi tim kejutan. Dan beberapa tahun kemudian Liverpool, yang identik mempunyai sejarah besar di Inggris dan Eropa menunjuk manajer Swansea - yang baru saja promosi dan menduduki posisi 11 Premier League di musim debutnya - Brendan Rodgers untuk menangani tim.
The Reds sedang dalam masa transisi. Pergantian manajemen, dan kegagalan menembus Liga Champions Eropa selama tiga musim beruntun ditambah mentalitas yang salah menjadi pekerjaan rumah besar bagi manajer yang lahir 41 tahun yang lalu itu.
Seorang manajer muda yang membuat Swansea melawan kodratnya sebagai tim Inggris yang selalu dikaitkan dengan gaya kick n' rush. Mungkin itu cukup bagi manajemen untuk menunjuknya, mengharapkannya melahirkan ide-ide baru kepada klub yang secara perlahan mulai kehilangan jati diri. Dan secara personal, saya sendiri ingat cerita indah Allegri dan Il Rossoneri di musim pertama mereka. Namun, saya tak bisa menjadi lebih salah lagi. Setidaknya hingga awal setengah musim ini berjalan.
Pergantian gaya
Swansea sempat dijuluki 'Swansealona' karena gaya kontinental yang mereka terapkan di lapangan mirip seperti apa yang diperagakan Barcelona. Permainan mereka impresif dengan mengandalkan umpan-umpan pendek dari lini belakang.
Di satu sisi masalah yang lain, Liverpool sama sekali bukan tim yang seperti itu.
Menerapkan garis lini belakang yang tinggi artinya memaksa pemain belakang tak hanya harus bisa membuang bola jauh-jauh dari gawang, tapi juga menuntut mereka untuk bermain menggunakan teknik dan intelejensia membaca permainan yang tinggi.
Martin Skrtel yang sebelumnya dinobatkan sebagai pemainterbaik klub 2011-12 tersingkir dan digantikan oleh Jamie Carragher karena pria Scouser itu bermain dengan lebih tenang dan jauh lebih berpengalaman ketimbang kapten Slovakia bermata tajam itu.
Enam bulan pertama Rodgers bukanlah yang terbaik, terlebih serentetat hasil buruk di awal musim yang membuat jalan terjal menjadi semakin berat. Namun, perlahan tapi pasti setelah klub berhasil mendatangkan Daniel Sturridge dari Chelsea dan Philippe Coutinho dari Internazionale peruntungan pun berubah.
Kredit besar bukan hanya untuk klub yang mampu mendapatkan kedua bakat berlian itu dengan harga miring. Tapi juga untuk Rodgers karena ia benar-benar tahu apa yang menjadi kepingan puzzle yang harus segera ia lengkapi. Kedatangan Sturridge dan Coutinho, sempurna melengkapi tim.
Steven Gerrard
Saya pengagum besar Jose Mourinho dan buat saya banyak alasan mengapa ia bisa dijadikan panutan. The Special One yang juga mentor Rodgers pernah berkata: "Saya bisa mengembangkan bakat pemain berusia 23 tahun, tapi bagaimana caranya untuk mengembangkan kemampuan pemain berusia 33 tahun?"
Di Liverpool ada seorang kapten yang telah menahun menjadi pahlawan. Ia selalu menjadi jalan keluar ketika semua jalan buntu. Seorang kapten yang bisa bermain di semua posisi lapangan, bertenaga kuda dengan kharisma yang luar biasa hebat. Namanya Steven Gerrard, sayangnya usianya tak lagi muda.
Rodgers menunjukan mengapa hanya ia menjadi satu-satunya murid Mourinho yang tersisa di Premier League. Ia berhasil mementahkan teori gurunya tersebut. Pria Irlandia Utara itu murid Einstein yang mampu mencoret teori E=MC2 dan menumpuknya dengan teorinya sendiri.
Kemampuan Gerrard bermain di segala posisi sempat mengalami polemik 'di mana posisi terbaiknya'. Benitez di zamannya sempat memainkannya sebagai sayap kanan, sebelum akhirnya menjadi sumber nyawa tim di bermain bebas di belakang Fernando Torres.
Kemampuan terbaik Gerrard keluar saat ia bermain bebas. Daya jelajahnya yang tinggi tak bisa ditandingi oleh siapapun di masa jayanya. Dan Rafa tahu benar apa yang ia lakukan.
Karena sang kapten hanyalah orang biasa dan bukan dewa, ia harus banyak bergulat dengan cedera dan usia yang tak bisa bertambah muda. Peran free role tak bisa lagi diemban kepadanya. Ia harus mampu menjalani peran dengan lebih disiplin. Bukan lagi menjalani peran sebagai Gerrard sang tokoh utama.
Layaknya seorang aktor senior, kebintangannya tak bisa dikecilkan. Brendan Rodgers melanjutkan maha karyanya di Merseyside dengan menampilkan seorang bintang di ujung karir profesionalnya, dan mengembangkan potensi terpendamnya.
Ia mengembangkan potensi dalam diri Gerrard di posisi yang tak pernah dijalani sang kapten tapi malah semakin menunjukan kemampuan visi umpan jarak jauh, bola-bola mati, dan kepemimpinan.
Seperti yang Rodgers jelaskan mengenai kembalinya Carragher ke tim inti di paruh kedua musim lalu bahwa ia memerlukan seorang pemimpin yang mampu mengorganisir pertahanan. Dan walaupun Stevie G bukan seorang bek, menempatkannya tepat di depan empat bek utama, berarti memberikan kemimpinan di tempat terkrusial di lapangan.
Apresiasi besar untuknya karena mampu mengembangkan potensi pemain yang mungkin sebelum dicoba akan ditentang oleh gurunya sendiri. Rodgers mengembangkan potensi pemain berusia 33 tahun.
Mimpi
Allegri memberikan prestasi secara instan tapi penurunan grafik prestasi malah menghiasi ujung karirnya bersama raksasa Italia. Rodgers berada di dimensi yang berbeda, grafik prestasi di musim perdananya stabil biasa-biasa saja, tetapi suatu yang nampak begitu jelas terlihat adalah grafik prestasinya hanya akan naik ketimbang turun.
Saya akui bahwa ada sedikit harapan kecil saat Brendan mengambil alih klub bahwa ia dapat mengubah Liverpool menjadi tim juara di musim pertamanya. Tapi faktor bahwa perubahan gaya bermain serta masa transisi yang lebih rumit di Merseyside membuat harapan itu sirna, tapi tidak untuk tahun-tahun ke depan.
Seperti yang dikatakan oleh Jon Flanagan yang mengatakan bahwa sebagai pemuda lokal ia selalu bermimpi Liverpool akan menjuarai Liga Inggris kembali, seakan-akan kembali menyalakan obor yang selama ini menyala tapi harus dimatikan secara sengaja tiap tahunnya.
Angkernya Anfield, pecahnya puluhan rekor di bawah manajerialnya membangkitkan mimpi nakal yang selama ini tabu bahkan untuk dimimpikan. Brendan Rodgers musim ini memaksa saya untuk bermimpi yang tidak-tidak.
Bermimpi menjadi juara Premier League di akhir musim nanti salah satu contohnya.
***
Sebutlah Massimiliano Allegri gagal total menangani tim Serie A AC Milan musim ini sehingga ia harus menanggung resiko dari keterpurukan dan dipaksa lengser dari kepelatihan. Tapi fakta bahwa ia mengantarkan klub tersebut menjadi jawara di kasta tertinggi Italia pada musim pertamanya tak bisa dipungkiri.
Klub dengan sejarah besar di negeri pizza itu membuat perjudian besar dengan menunjuk Allegri yang sebelumnya baru setahun dibilang sukses mengantarkan Cagliari menjadi tim kejutan. Dan beberapa tahun kemudian Liverpool, yang identik mempunyai sejarah besar di Inggris dan Eropa menunjuk manajer Swansea - yang baru saja promosi dan menduduki posisi 11 Premier League di musim debutnya - Brendan Rodgers untuk menangani tim.
The Reds sedang dalam masa transisi. Pergantian manajemen, dan kegagalan menembus Liga Champions Eropa selama tiga musim beruntun ditambah mentalitas yang salah menjadi pekerjaan rumah besar bagi manajer yang lahir 41 tahun yang lalu itu.
Seorang manajer muda yang membuat Swansea melawan kodratnya sebagai tim Inggris yang selalu dikaitkan dengan gaya kick n' rush. Mungkin itu cukup bagi manajemen untuk menunjuknya, mengharapkannya melahirkan ide-ide baru kepada klub yang secara perlahan mulai kehilangan jati diri. Dan secara personal, saya sendiri ingat cerita indah Allegri dan Il Rossoneri di musim pertama mereka. Namun, saya tak bisa menjadi lebih salah lagi. Setidaknya hingga awal setengah musim ini berjalan.
Pergantian gaya
Swansea sempat dijuluki 'Swansealona' karena gaya kontinental yang mereka terapkan di lapangan mirip seperti apa yang diperagakan Barcelona. Permainan mereka impresif dengan mengandalkan umpan-umpan pendek dari lini belakang.
Di satu sisi masalah yang lain, Liverpool sama sekali bukan tim yang seperti itu.
Menerapkan garis lini belakang yang tinggi artinya memaksa pemain belakang tak hanya harus bisa membuang bola jauh-jauh dari gawang, tapi juga menuntut mereka untuk bermain menggunakan teknik dan intelejensia membaca permainan yang tinggi.
Martin Skrtel yang sebelumnya dinobatkan sebagai pemainterbaik klub 2011-12 tersingkir dan digantikan oleh Jamie Carragher karena pria Scouser itu bermain dengan lebih tenang dan jauh lebih berpengalaman ketimbang kapten Slovakia bermata tajam itu.
Enam bulan pertama Rodgers bukanlah yang terbaik, terlebih serentetat hasil buruk di awal musim yang membuat jalan terjal menjadi semakin berat. Namun, perlahan tapi pasti setelah klub berhasil mendatangkan Daniel Sturridge dari Chelsea dan Philippe Coutinho dari Internazionale peruntungan pun berubah.
Kredit besar bukan hanya untuk klub yang mampu mendapatkan kedua bakat berlian itu dengan harga miring. Tapi juga untuk Rodgers karena ia benar-benar tahu apa yang menjadi kepingan puzzle yang harus segera ia lengkapi. Kedatangan Sturridge dan Coutinho, sempurna melengkapi tim.
Steven Gerrard
Saya pengagum besar Jose Mourinho dan buat saya banyak alasan mengapa ia bisa dijadikan panutan. The Special One yang juga mentor Rodgers pernah berkata: "Saya bisa mengembangkan bakat pemain berusia 23 tahun, tapi bagaimana caranya untuk mengembangkan kemampuan pemain berusia 33 tahun?"
Di Liverpool ada seorang kapten yang telah menahun menjadi pahlawan. Ia selalu menjadi jalan keluar ketika semua jalan buntu. Seorang kapten yang bisa bermain di semua posisi lapangan, bertenaga kuda dengan kharisma yang luar biasa hebat. Namanya Steven Gerrard, sayangnya usianya tak lagi muda.
Rodgers menunjukan mengapa hanya ia menjadi satu-satunya murid Mourinho yang tersisa di Premier League. Ia berhasil mementahkan teori gurunya tersebut. Pria Irlandia Utara itu murid Einstein yang mampu mencoret teori E=MC2 dan menumpuknya dengan teorinya sendiri.
Kemampuan Gerrard bermain di segala posisi sempat mengalami polemik 'di mana posisi terbaiknya'. Benitez di zamannya sempat memainkannya sebagai sayap kanan, sebelum akhirnya menjadi sumber nyawa tim di bermain bebas di belakang Fernando Torres.
Kemampuan terbaik Gerrard keluar saat ia bermain bebas. Daya jelajahnya yang tinggi tak bisa ditandingi oleh siapapun di masa jayanya. Dan Rafa tahu benar apa yang ia lakukan.
Karena sang kapten hanyalah orang biasa dan bukan dewa, ia harus banyak bergulat dengan cedera dan usia yang tak bisa bertambah muda. Peran free role tak bisa lagi diemban kepadanya. Ia harus mampu menjalani peran dengan lebih disiplin. Bukan lagi menjalani peran sebagai Gerrard sang tokoh utama.
Layaknya seorang aktor senior, kebintangannya tak bisa dikecilkan. Brendan Rodgers melanjutkan maha karyanya di Merseyside dengan menampilkan seorang bintang di ujung karir profesionalnya, dan mengembangkan potensi terpendamnya.
Ia mengembangkan potensi dalam diri Gerrard di posisi yang tak pernah dijalani sang kapten tapi malah semakin menunjukan kemampuan visi umpan jarak jauh, bola-bola mati, dan kepemimpinan.
Seperti yang Rodgers jelaskan mengenai kembalinya Carragher ke tim inti di paruh kedua musim lalu bahwa ia memerlukan seorang pemimpin yang mampu mengorganisir pertahanan. Dan walaupun Stevie G bukan seorang bek, menempatkannya tepat di depan empat bek utama, berarti memberikan kemimpinan di tempat terkrusial di lapangan.
Apresiasi besar untuknya karena mampu mengembangkan potensi pemain yang mungkin sebelum dicoba akan ditentang oleh gurunya sendiri. Rodgers mengembangkan potensi pemain berusia 33 tahun.
Mimpi
Allegri memberikan prestasi secara instan tapi penurunan grafik prestasi malah menghiasi ujung karirnya bersama raksasa Italia. Rodgers berada di dimensi yang berbeda, grafik prestasi di musim perdananya stabil biasa-biasa saja, tetapi suatu yang nampak begitu jelas terlihat adalah grafik prestasinya hanya akan naik ketimbang turun.
Saya akui bahwa ada sedikit harapan kecil saat Brendan mengambil alih klub bahwa ia dapat mengubah Liverpool menjadi tim juara di musim pertamanya. Tapi faktor bahwa perubahan gaya bermain serta masa transisi yang lebih rumit di Merseyside membuat harapan itu sirna, tapi tidak untuk tahun-tahun ke depan.
Seperti yang dikatakan oleh Jon Flanagan yang mengatakan bahwa sebagai pemuda lokal ia selalu bermimpi Liverpool akan menjuarai Liga Inggris kembali, seakan-akan kembali menyalakan obor yang selama ini menyala tapi harus dimatikan secara sengaja tiap tahunnya.
Angkernya Anfield, pecahnya puluhan rekor di bawah manajerialnya membangkitkan mimpi nakal yang selama ini tabu bahkan untuk dimimpikan. Brendan Rodgers musim ini memaksa saya untuk bermimpi yang tidak-tidak.
Bermimpi menjadi juara Premier League di akhir musim nanti salah satu contohnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar